Senin, 09 Mei 2011
BROMO ADVENTURE
Ide perjalanan ke bromo ini sudah ada dalam rencana saya persisnya enam bulan yang lalu. Dua bulan yang lalu saya mengajak seorang kawan, Eka sitohang namanya. Planing awal adalah semarang, mengunjungi kota lama dikota itu,gayung bersambut. Satu bulan yang lalu, Muta, teman saya yang lain,bbm saya menginformasikan mau ikut ke semarang.2 Minggu yang lalu akhirnya saya putuskan untuk merubah planing dari kota lama di semarang menuju Bromo.
Omong-Omong mulailah kita ngobrol mengenai perjalanan ke bromo, mulai dari transportasi, tugas dari masing-masing orang, sampai dana perjalanan. Perjalanan ini kami sepakat backpackeran, bermodalkan ransel dan dana seminim mungkin.
Tanggal perjalanan kami putuskan 21-24 April 2011. Kami memesan tiket kereta yang kebetulan hanya tersedia tiket ekonomi karena Harkitnas, Jumat tanggal 22 libur.Delapan belas jam perjalanan sudah menanti perjalanan kita menuju stasiun baru kota malang.
Untuk masalah rute perjalanan, semua menjadi tanggung jawab saya. Eka mengurus masalah dana yang terkumpul sampai dengan pengeluaran selama perjalanan.Sedangkan Muta yang kelihatan sangat manja saya tugaskan untuk mengurusi makan kita supaya tidak diketok harga disana, kalau bisa gratis dengan jurus rahasia muta.
Sehari sebelum hari H, saya sudah menginformasikan apa saja yang harus mereka bawa selama dalam perjalanan, maklum mereka belum pernah menjejakkan kaki ke dataran tinggi seperti puncak pegunungan.Ditambah saya pernah denger Eka dan Muta akan tetap eksis di bromo dengan berfoto ala model tarzan.Mereka akan tetap foto dengan baju tanktop atau sedikit terbuka. Alamak....mereka belum tahu dinginnya seperti apa disana.
Jacket, sarung tangan, obat-obatan, sarung kaki, kaos, masker, topi dan kaca mata untuk melindungi mata dari pasir. Semua sudah terpacking dengan baik di ransel masing-masing.
- Hari 1 – 21 April 2011
Muta datang ke kost saya di daerah meruya jam sembilan pagi. Sebelumnya saya belum tidur semalaman karena tidak bisa tidur atau terlalu excited,entahlah. Otomatis, kepala saya pusing dan akhirnya muntah pada pagi hari menjelang keberangkatan. Kita akhirnya berangkat jam sepuluh pagi. Janjian dengan Eka yang tinggal di bekasi untuk bertemu langsung di stasiun senen.
Jalanan di jakarta agak macet sehingga kita hampir dua jam baru tiba di stasiun senen, Eka sudah menelpon saya terus menanyakan keberadaan kita selama perjalanan. Cerewet sekali dia. Kita yang belum makan pagi meminta eka untuk membelikan makanan kita.
“ Woi...lama amat sih, gw disini udah hampir satu jam” kata eka. Saya dan Muta senyum-senyum saja mendengar ocehan Eka. “Gak tau apa jakarta semacet apa?” kata saya.
“Nih gw beliin nasi padang buat lo berdua” katanya.Alamak cuma satu bungkus. Bener-bener ngirit sekali atau Eka nya yang pelit, sementara dia sudah makan padang 1 porsi sendiri.
Sampai di stasiun kita menunggu dua jam lagi keberangkatan kereta “Matarmaja” kita. Saya dan Eka sudah jaga-jaga ke toilet dulu di ujung stasiun sebelum berangkat. Gak tahu nanti bagaimana kalau sampai buang hajat di toilet kereta. Waduh gak kebayang deh. Disusul Muta yang minta ditemani Eka karena dia gak berani pergi sendiri.
Memasuki kereta, kami mencari bangku kami sesuai nomor yang ada di tiket. Kebetulan bangku yang berhadapan dengan kami adalah bangku bapak tua dan keluarganya. Mungkin karena Bapak tahu kita berisik atau ingin bersatu dengan keluarganya yang lain, akhirnya dia menukar bangkunya dengan anak-anak muda yang akhirnya menjadi teman perjalanan kami.
Didalam kereta banyak anak kecil yang menawarkan Kipas dari anyaman bambu seharga tiga ribu rupiah. Eka membeli satu. Tak ketinggalan sempat beradu ocehan si pedagang lainnya dengan eka karena masalah harga.
Teman perjalanan kami itu adalah pemuda-pemuda yang polos dan pemalu. Muta mulai melakukan aksi pendekatan dengan orang baru. Banyak tanya-tanya dan kita saring lempar-lemparan cerita lucu. Eka jagonya. Tahu teman perjalanan kita sedang belajar bahasa inggris dasar, Eka langsung merampas bukunya. “sini, gw tanya ya, kl loe bisa jawab berarti lulus”. Dengan tampang polosnya itu dia meraba-raba jawaban yang dipertanyakan eka. Saya dan muta cengar-cengir saja melihat muka si pemuda polos tadi yang sampai sekarang belum saya tahu namanya.
Oh ya, di samping bangku kami, ada juga pemuda-pemuda asal malang yang bekerja di jakarta. Mereka pulang kampung memanfaatkan Harkitnas rupanya. Kita sesekali menanyakan rute perjalanan ke mereka. Awalnya, lagi-lagi Muta yang melakukan pendekatan tersebut saat saya dan Eka turun membeli makan saat kereta berhenti di stasiun cirebon, sekitar jam 6 sore. Ketika kami naik ternyata Muta sudah asik ngobrol dengan salah satu dari rombongan arek malang tersebut. Hehehe, saya geleng-geleng kepala sudah, melihat tingkah muta dalam empat jam berjalanan ini.
Info dari Muta mereka anak-anak yang baik. Berpesan kepada kita supaya nanti setibanya di malang jangan bertanya ke sembarang orang, lebih baik ke satpam atau ibu-ibu. Kabar berita yang kami terima sebelumnya memang di Malang ada aksi penculikan 9 orang mahasiswa.
Glek....Wah kami jadi semakin was-was mendengar itu. Apalagi saya, punya tanggung jawab moral karena saya yang mengajak mereka dalam perjalanan ini. Bagaimana nanti Babeh dan Nyaknya Muta nyang asli betawi tanya kesaya, menangis tersedu-sedu anaknye ilang di puun rambutan.eh salah,....dimalang. di lamunan saya juga terbayang orang tua eka yang asli batak mengumpat-ngumpat dalam bahasa batak menanyakan anak sulungnya yang berjualan beras, kini sudah tidak berjualan beras lagi karena di culik...oh tidak!!!!
Seketika saya langsung berdoa supaya perjalanan ini dilindungi Tuhan Yang Maha Esa. Sambil menghilangkan kebosanan, saya menyetel ipod milik pacar saya yang sengaja dipinjamkan supaya saya tidak jenuh dalam perjalanan. Teringat pesan-pesannya sebelum perjalanan saya. Untuk minum vitamin C sebelum perjalanan supaya saya tetap fit.Lagu iwan fals dari kesaksian, Bongkar, Sore di tugu tani, sampai Kereta tiba pukul berapa menjadi teman perjalanan saya, sambil sesekali saya harus berbagi earphone dengan Muta untuk menghilangkan kejenuhan perjalanan yang panjang.
Eka bisa tidur di mana saja, dengan melipat-lipat badan dia dan urat kemaluan yang mungkin sudah putus, dia cuek dengan gayanya mencari tempat yang nyaman untuk tidur, saya dan Muta karena tidak enak dengan teman perjalanan kami yang juga berhadapan duduknya dengan kami ditambah tempat yang sempit, memilih tidur dalam duduk. Muta lebih asik menggelayut di pundak saya untuk tidur.
- Hari 2 – 22 April 2011
Kondisi yang panas dan sering berhentinya kereta kami, membuat saya dan Muta sesekali terbangun dari tidur, sementara Eka mungkin sudah asik dengan mimpinya di Bromo.
Tegal, Pekalongan, Semarangponcol, Solojebres, madiun, kertasono, kediri sudah terlewati. Sudah menjelang pagi, kami seketika lapar,Nah enaknya kereta ekonomi ini banyak juga pedagang yang lalu lalang dalam kereta meski waktu menunjukkan sudah dini hari.Pop mie dan kopi susu menjadi pengganjal perut lapar kami. Si Abang di sebrang melihat eka yang asik tidur bilang seperti ini “ kayaknya si mbak ini pengganti calon mbah marijan deh” katanya menunjuk eka.
Saya tertawa. “wah berarti mukanya keramat dong, hahaha...” kata saya
“Tapi si mbak ini gak akan lulus jadi penggantinya mbah marijan.” katanya tenang
“loh kenapa mas?”
“loh si mbaknya ini ndak bisa bahasa jowo” katanya tertawa
Gubrakkk!!!!! saya kira apa toh mas...
Si mas ini ternyata ngantuk lagi,memilih tidur di bangku depan karena tempatnya diboikot Eka untuk tidue.Eka masih asik dengan tidurnya, sementara Muta yang bergantian dengan saya duduk di sisi pinggir supaya bisa menyender tertidur. Saya kembali memperhatikan kearah luar kereta, Matahari juga belum tampak rupanya, ah waktu masih menunjukkan jam 4 pagi.
Sekitar jam 7 pagi kereta kami sudah melewati blitar. Si mas yang bercanda dengan saya sudah turun di blitar, tidak sabar menemui istrinya. Teman perjalanan kami juga sebelumnya sudah berhenti di semarang. Perkiraan satu jam lagi kami tiba di stasiun baru kota malang. Eka dan Muta sudah terbangun dengan mata yang masih setengah mendelik.
Wah mulai terasa ademnya nih, memang. Karena kita akan segera tiba di malang. Keretapun berhenti di stasiun terakhir tujuan kami. Sebelumnya kami sempat bertanya pada wong malang yang saya ceritakan tadi bekerja di jakarta. Kami menanyakan Gereja yang terdekat dari stasiun baru malang. Teman inipun menunjukkan arahnya ketika kita keluar dari stasiun. Baik sekali teman-teman yang kita jumpai dalam perjalanan ini.
Kami pun berjalan sampai di alun-alun. Sempat bertanya dengan tukang becak arah gereja yang dapat kami temui. Berhubung sekarang hari ini Hari “Jumat Agung” dan kami sudah bernazar untuk tetap melakukan ibadah pada hari ini selagi kami masih di jakarta.
Di Malang, Gereja-gereja hanya mengadakan maksimal 2 kali kebaktian, pagi dan sore saja. Sementara Jakarta dalam 1 hari bisa 5-6 kali kebaktian. Karena kita tiba disana hampir jam 9, sementara 2 gereja yang kami datangi sudah memulai kebaktian pagi jam 6 atau jam 7.Kami akhirnya memutuskan makan dulu. Saya memilih rawon, Eka dan Muta saya lupa makan apa. Kelezatan rawon membuat saya tidak memikirkan hal lainnya lagi. Selesai makan tanpa sengaja kami menemukan Sebuah Gereja yang ternyata baru akan mulai kebaktian jam 10 pagi. Oh ya Muta yang Muslim memutuskan menunggu saya dan Eka beribadah di warung tadi kita makan. Selagi sempat bisa charge HP nya gratis.Maklum Muta harus tetap Eksis mengupdate statusnya di Facebook.
Saya dan Eka memasuki Gereja dengan tatapan orang-orang yang aneh. Atau cuma perasaan kita saja ya. Berhubung kita memakai atribut naik gunung. Mereka mungkin khawatir kami membawa bom bunuh diri kedalam gereja. Kebetulan ada toilet. Kami membersihkan diri dulu sebelum dimulaikan kebaktian. Mencuci Muka meskipun kami belum mandi dari kemarin. Pada akhirnya saya sempat terkantuk-kantuk selagi mendengarkan khotbah dari Pendeta.Eka asik berbbm dengan Muta untuk menghilangkan ngantuknya.
Selesai Ibadah, kami menemui muta di warung makan tadi. Sekitar jam 1 siang kami menuju terminal Arjosari. Menempuh hampir 10 Menit dengan ongkos perorang 3000 rupiah saja. Menaiki Bus ke Terminal Probolinggo menempuh sekitar 1,5 jam dengan biaya14 ribu/orang. Menuju Purbolinggo kita yang kepanasan di bus sempat membuat mood kita berubah. Eka Sempat marah-marah ke Muta karena rambutnya yang panjang menyentuh tangan dia yang lengket dengan keringat, Eka menyuruh untuk mengikat rambutnya muta supaya tidak nempel-nempel di lengan Eka. Saya yang duduk di ujung hanya melihat saja mereka berdua kesel.
Setiba di Purbolinggo kita sudah dihampiri oleh banyak calo yang tahu kita akan menuju bromo. Sebenarnya berdasarkan hasil browsing informasi ke bromo, setahu saya ongkos menuju desa cemoro lawang hanya 25 ribu perorang. Tetapi karena sedari kami turun bis yang menuju cemoro lawang tidak ada lagi selain kita. Akhirnya kita putuskan juga berangkat hasil tawar-tawaran yang alot jadilah kami dipatok 50 ribu perorang, selain kami di depan terminal naik 2 bule cewek dari spanyol yang ikutan bersama dengan kami.
Jalan menuju desa Cemoro Lawang seperti menuju Puncak Bogor. Jalan Naik dan disisi kanan kiri banyak pohon-pohon besar. Sore itu Kabut sudah terlihat karena hujan rintik juga sudah turun.
Nama supir kita Ferry, Orang jawa tapi dengan logat madura. Aneh kan. Dia juga lucu dan baik seringkali dia memandu kita memberi tahu menceritakan tempat-tempat yang kita lalui. Dia menceritakan ketika Bromo meletuskan lavanya. Sehingga banyak tumpukan pasir di tepi-tepi jalan. Dia bilang sekarang Bromo sudah aman. Kami lega jadinya.
Hampir Maghrib, kami tiba di Desa Cemoro Lawang. Ferry menanyakan apakah kami akan menginap di hotel atau homestay. Kami memilih alternatif kedua mengingat dasar perjalanan kami adalah dana yang seminim mungkin. Hehehe... Turis Spanyol itu sengaja kita tawarkan tinggal dekat kita supaya mereka ada temannya, Toh kita juga sudah saling kenal selama di mobil tadi. Muta dan Eka terlalu exited ingin ngobrol dengan bule. Entahlah Apakah Rakyat Indonesia memang ramah atau norak-norak ya.Hehehe (Sssttt!!!....jangan keras-keras bacanya nanti ada yang denger).
Akhirnya kami memutuskan tinggal di homestay yang ditawarkan ferry, katanya dia kenal sama pemiliknya. Harga yang dibuka sebelumnya adalah 100 ribu permalam, hanya hasil nego dari Muta (kali ini negosiasi dijalankan Muta, yang dengan bangga dia bilang berhasil menurunkan harga) menjadi 75 ribu. Semula kamar yang kita pilih adalah nomor 3, tapi Eka langsung menyuruh kita pindah ke nomor 1, Angka 3 sial menurut Eka. Hahaha, itu anak masih percaya saja sama mitos, pantes si mas di kereta bilang dia bisa jadi pengganti Mbah Marijan. Maaf Mbah sebaiknya penggantimu jangan Eka, bisa merusak nama baikmu.
Kami berberes-beres dikamar, alamak....kasurnya dingin sekali, kami mendapat tambahan selimut dari pemilik Homestay. Selimut tambahan tadi kita pakai untuk menjadi alas kasur supaya tidak terlalu dingin. Sekitar jam 7 malam, kami mencari makan malam, 500 meter dari homestay kami menemukan warung. Saya memesan nasi goreng, yang lainnya indomie dan nasi rames seingat saya. Kami terheran-heran melihat anak si Pemilik warung rambutnya basah, katanya habis keramas. Kami tanyakan apakah malam-malam begini cuci rambut apa tidak dingin, mengingat rumahnya dibawah kaki gunung bromo? Anak kecil itu bilang katanya sudah terbiasa.
Ngobrol-ngobrol dengan si empunya warung, dia menawarkan sewa ojek yang bisa digunakan untuk menuju lokasi wisata di bromo. Untuk 4 lokasi seperti pananjakan, padang pasir, Savana dan Pasir Berbisik dia menawarkan 3 ojek sebesar 450 ribu. Wah seketika kita langsung bilang gak jadi deh kl harganya seperti itu. Saya tawar-menawar dengan mereka menjadi 250 ribu. Awalnya mereka keberatan. Ya sudah akhirnya kita kembali ke homestay, kami tidak lagi pusing memikirkan bagaimana besok karena terlalu lelahnya kami dalam perjalanan siang ini. Eka sudah minta saya untuk deal harganya menjadi 300 ribu tapi saya bilang biarkan saja dulu, nanti kl mereka butuh akan sms saya lagi. Dan ternyata benar mereka minta tambahan 20 ribu lagi menjadi 270 ribu. Dealpun terjadi. Saya janjian jam 3 pagi untuk menemui kami di depan homestay.
Kami langsung merebahkan diri dikasur. Saya bilang kepada Eka dan Muta untuk bangun jam 2 pagi karena kita akan melihat sunrise di pananjakan.
- Hari 3 – 23 April 2011
Pagi yang dingin membangunkan saya. Saya tidur diapit oleh Eka dan Muta. Saya lihat ke kanan dan kiri, mereka masih pulas tertidur. Saya berkemas sendiri. Jam 2.30 saya membangunkan Eka dan Muta. Mereka terpaksa bangun karena saya bilang mas-mas ojeknya sudah ada di depan homestay. Saya sudah berganti pakaian dengan Jacket tebal, sarung tangan dan Sepatu kets. Mereka Menyusul kemudian. Sehabis menggosok gigi kami segera menemui mas-mas ojeknya. Masing-masing menaiki ojek. Bbbbrrrrr....Udara yang dingin menyentuh lapisan kulit kami
Motor diberhentikan di bawah bukit Pananjakan, kami harus menaiki bukit supaya kami dapat menangkap moment Sunrise yang bagus. Dipertengahan jalan, kami bertemu dengan Bonar, pemuda jakarta yang datang sendiri ke Bromo. Wah kita jadi bertanya-tanya jangan-jangan dia datang sendiri kesini karena sedang patah hati. Kebetulan dia sendiri dari suku batak, sama dengan Eka, akhinya kami berjalan bersama menuju bukit Pananjakan. Sampai di pos tempat biasa melihat Sunrise kami bertemu dengan banyak pedagang disana, mulai yang menawarkan kopi, popmie ataupun pisang goreng. Hebat...mereka membawa dagangan mereka sampai diatas sini.
Matahari belum menunjukkan tanda-tanda terbitnya. Kami naik di atas pos untuk melihat Sunrise supaya lebih jelas. Beberapa kali saya mengamati turis-turis asing yang membeli kopi dari pedagang lokal tersebut. Menurut penduduk sana, Sunrise baru kelihatan sekitar jam 4.30 atau 5 pagi.Tak lama kemudian raut jingga mulai kelihatan dari arah timur sana. Di sebelah kanan tempat kami berdiri, Kawah bromo memberi pemandangan yang menarik dengan gempulan asap putihnya.
Kami segera memanfaatkan kamera yang kami bawa untuk segera menangkap panorama alam yang indah ini. Muta membuat Eka tertawa karena sok ikut nimbrung foto dengan wisatawan domestik lain. Dia kalah set dengan saya yang sudah foto dengan turis .hahaha, dia sudah pasti ngiri. Seketika langsung minta saya beritahu bagaimana cara meminta untuk berfoto bersama dengan bule itu dalam versi inggrisnya. Muta yang “ pecicilan “(istilah dari Eka) akhirnya saya juluki “Cu Pat Kai” karena gak bisa melihat ada kerumunan pemuda, langsung ikut nimbrung foto bareng. “Dari dulu beginilah cinta, deritanya tiada akhir” begitu saya mengulang kalimat sohor Cu Pat Kai. Muta mesem-mesem aja denger ledekan saya. Kamera Lensa Canon milik Bonarpun kita manfaatkan untuk memfoto kami dengan latar bromo ini.
Bonar akhirnya memutuskan ikut dengan kami ke tiga lokasi lainnya. Motor membawa kami ke padang pasir. Hamparan padang pasir yang kami lalui pagi ini ditemani dengan embun yang cukup pekat. Motor kami berjalan satu persatu mengikuti. Kami harus menuruni motor, karena toleransinya, Ojek motor membagi lahan pekerjaannya dengan penunggang kuda, Pilihannya adalah kami tetap berjalan atau naik kuda. Awalnya kami bertekad bulat untuk berjalan kaki saja.
Baru melawati Pura yang ada di tengah-tengah hamparan padang pasir saya kelelahan. Nafas semakin pendek, ditambah mereka seakan berjalan lebih cepat atau langkah saya yang semakin lambat. Mungkin sudah hampir 7 atau 8 tahun saya tidak naik gunung lagi. Guys, saya akhirnya memutuskan pakai Kuda. Eka meneriaki saya “orang jompo”. Saya sih masa bodoh yang penting saya happy gak capek-capek dan menyusul cepat di depan mereka.
Tak lama berselang, Eka berteriak di belakang saya, ternyata dia juga memutuskan naik kuda. “Gw teriak lo orang jompo, teryata gw juga yak” kata eka. Baru saya tahu setelah kita turun dari kuda selain karena capek berjalan, Eka juga sebel karena merasa dicuekin Muta yang asik berjalan didepan bersama Bonar.
Kami menaiki bukit pasir untuk menuju kawah Bromo, bukit yang dengan kecuraman yang cukup tajam tak merendam kekesalan Eka terhadap Muta.Eka ngedumel sendiri karena sebel dipikirnya Muta tidak setia kawan berbagi beban dan senang bersama lagi karena ada Bonar disampingnya. Wisatawan Lokal yang baru turun ikut senyum karena mendengar Eka yang ngedumel.
“Sabar mbak”
saya pun menimpali “ iya mas, maklum pacarnya diambil sama temannya sendiri” kata saya iseng.
Eka ikut tertawa dengar joke saya “ iya makanya saya mau cari pacar baru di atas sana” kata eka.
Kami lihat dibelakang, Muta dan Eka ikut menyusul menaiki bukit pasir ini. Beberapa kali saya ditolong Bonar dan Muta untuk membawa beban tubuh saya sampai keatas. Maklum karena pasir yang kita pijak akan ikut longsor juga kebawah makanya kita harus berhati-hati Hehehe, jadi malu saya. Sampai diatas Eka sudah tidak kesel lagi sama Muta karena dilihatnya dia menolong saya tadi. Duh manis sekali teman-teman saya ini. Diatas kawah Bromo, kami hampir tidak percaya bahwa kami sanggup sampai diatas sini. Saya cubit lengan Eka dan Muta.”Gak mimpi kok” kata saya.
Sehabis berfoto ria, kami kembali menuruni kawah bromo. Saya dan Eka melanjutkan baik kuda melewati Pura yang kita temui tadi di tengah padang pasir. Sedang Muta dan Bonar tetap berjalan bersama di belakang sana. Kami sampai lebih dahulu di tempat ojek menunggu kita tadi. Sehabis membayar 50 ribu/orang kepada si empunya kuda. Waktu menunjukkan jam 9 Pagi. Kami lanjut menaiki Motor ke padang Savana yang saya pikir berupa padang ilalang. Ternyata hanya bukit-bukit hijau seperti bukit di serial TV anak Teletubies.
Kami lanjutkan perjalanan kami ke pasir berbisik. Ingin menjawab pertanyaan dipikiran kami kenapa disebut dengan Pasir Berbisik. Mas Ojek kami bilang “ini loh mbak Lokasi christine hakim dan Dian Sastro syuting film Pasir Berbisik” saya manggut-manggut saja mendengarkan. Memang sih Angin yang berhembus terdengar seperti bersiul diantara pasir-pasir yang ada.
Meski matahari mulai bersinar, teriknya tak membuat kami gerah seperti di Jakarta.Masih terasa angin dinginnya yang melewati kami dalam laju motor. Kami putuskan kembali langsung ke homestay untuk berkemas kembali ke jakarta.
Rencana sebelumnya, kami akan kembali ke Jakarta Besok. Tapi dengan alasan bahwa kami (Saya dan Muta) tidak mau terlambat datang ke kantor hari seninnya. Maka kami memutuskan sabtu ini kembali ke Jakarta. Eka Ikut meski saya rasa kesel juga karena terburu-buru harus kembali ke Jakarta. Maklum Eka punya banyak waktu kosong alias pengangguran.Disuruh seminggu disana juga dia mau aja asal ada temannya.
Ferry menjemput kami lagi di homestay, membawa kami ke Terminal Purbolinggo. Sempat berhenti untuk makan siang di daerah purbolinggo.Terjadi miss karena kami pikir, Ferry akan mengantar kami sampai stasiun malang ternyata dia membawa kami sampai stasiun purbolinggo. Pantas Murah sekali tambahan biayanya, Muta yang sempet bicara dengan Ferry mengenai tawaran hantaran sampai ke stasiun sebelumnya. Muta juga tidak memperjelas Stasiun tujuan kami.
Kereta tidak beroperasional hari ini. Informasinya karena bonek-bonek Persema akan memboikot kereta menuju Jakarta. Akhirnya kami putuskan akan naik bis di terminal Arjosari yang jam 2 siang.Karena salah persepsi ini, buah tangan yang rencanakan akan kami beli buat keluarga dan teman dijakartapun akhirnya kita batalkan. Dalam perjalanan dari Probolinggo ke Arjosari Muta sempat berkenalan dengan teman duduk disampingnya. Dia menawarkan mulai dari pesawat sampai Bis Malam. Kami memilih bis malam. Sebelumnya saya dan Eka kembali ke stasiun dulu untuk mengambil kembali uang yang sudah kita titipkan ke satpam stasiun untuk membeli tiket.
SMS satpam itu “Mbak hati-hati ya, kalau bis nya sudah jalan kabarin saya ya.” Gubrakkkkkk!!!! Eka ternyata punya cem-ceman juga di Malang.
Sambil mengambil uang di ATM dekat stasiun, saya dan Eka kembali menuju terminal Arjosari. Muta sudah menunggu disana dengan tas-tas ransel yang kita tinggal. Katanya dia lapar. Kita beli makan dulu untuk kita makan di dalam bis.
Bis pun berjalan sekitar jam 6 Sore, Molor karena harus menunggu penumpang lagi yang belum datang. Syukur juga sih kita jadi tidak terburu-buru. Bis berjalan, sambil makan kita bercanda-canda. Saling bercerita tentang 3 hari yang hampir kita lewati di malang-probolinggo-bromo.
Rasa Kesal dan senang semuanya diceritakan saat itu. Kesimpulan yang saya dapat dari perjalanan ini dengan bermodal nekat, tujuan yang belum pernah kita datangi sebelumnya, Ego dari masing-masing orang (Saya, Eka dan Muta) adalah bahwa kita harus saling bahu membahu, melengkapi dari kekosongan, dan belajar memendam keegoisan kita adalah kunci keberhasilan petualangan kami.
Saya cukup senang, Muta bisa membuktikan bahwa ternyata dia bisa tidak bermanja-manja lagi. Eka membuktikan bahwa dia bisa menikmati liburan meski belum mendapatkan pekerjaan. Dan saya dapat membuktikan bahwa selain Bali, Yogya, saya pun sudah pernah menjejakkan kaki ke puncak Bromo. Rute petualangan saya selanjutnya adalah Tana Toraja di Sulawesi.
Mau berpetualang ataupun liburan gratis bisa kok. Raja kamar mendukung itu semua dengan menyediakan hotel murah dan sekarang malah ada promo hotel 88rb. siapa cepat dia dapat, buruaaannnnn......
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
saya minta minta nmrnya kalian dong??soalnya bulan juli saya mau ke bromo juga...
BalasHapusmohon kabarin saya secepatnya yahh..soalnya saya mau tanya2 ke kalian...okeehh
lgs hubungin saya aja di 0856 8392 659 / 021 991416 88
bisa hub ke 021-32838493. Senang bisa membantu.
BalasHapuswow keren sist jadi pengin ke bromo.....
BalasHapushayoo...jelajahi indonesia, siap-siap menuju toraja.hihihi
BalasHapussist boleh tau rincian biaya kesana ga? soalnya mungkin Juli saya juga mau ksana, hhe thx before
BalasHapuslam kenal, btw, yang ke toraja, rencana kapan berangkat?
BalasHapus@zaki,semoga bisa membantu
BalasHapusKereta matarmaja - malang Rp. 51.000
Naik angkot ke terminal arjosari Rp. 3.000
lanjut naik bis ke probolinggo Rp. 14.000
Lanjut naik mobil charteran yang biasa antar sampai desa terakhir bromo (cemoro lawang) seharusnya Rp. 25.000
Homestay Rp. 75.000/malam (bisa diisi 3 org)
yang mahal memang transport disana spt naik kuda biasa, dan ojek charteran...
Salam kenal juga....
BalasHapusKe toraja rencana tgl 1-6 sept 2011
Mari jelajah indonesia
sist nama penginapan nya apa ?? ada cp nya ga ???
BalasHapus